Terbaru

Pengorbanan Olga Lydia Demi Festival Film Indonesia

Olga Lydia bekerja keras untuk ajang Festival Film Indonesia (FFI) | PT. Kontak Perkasa Futures Cabang Bali

 PT. Kontak Perkasa Futures Cabang Bali

Terus terang kami kurang aktif untuk menghubungi lifetime member. Sekarang kita aktif banget. Makanya kita adakan gathering semacam ini agar bisa bertemu dan ngobrol langsung di antara juri Festival Film Indonesia," tukas Olga Lydia.

Olga merasa, keterlibatan lifetime member di perhelatan FFI tahun lalu berjalan kurang maksimal. Sebab itu dia ingin memperbaiki kekurangan tersebut agar pelaksanaan FFI menjadi lebih baik setiap tahunnya.

Lebih lanjut Olga menuturkan tentang keterlibatannya di ajang FFI. Dia juga pernah masuk di jajaran juri pada tahun 2014 untuk kategori kostum. Awalnya, Olga berniat tak ingin banyak berperan di perhelatan tahun ini.

"Di 2016 sebenarnya sudah lah, sudah ada Lukman Sardi. Cuma dia bilang bantu lah. Akhirnya aku disuruh urus penjurian. Lagipula saya merasa di tahun lalu masih ada PR penjurian agar lebih bagus lagi," katanya.

Sudah 2 tahun terakhir Olga Lydia harus bekerja keras untuk ajang Festival Film Indonesia (FFI). Sempat menjadi ketua pelaksana di tahun lalu, kini dia didapuk sebagai Ketua Bidang Penjurian FFI 2016. Tentu buka pekerjaan mudah bagi Olga yang harus bekerja keras demi perhelatan tahunan ini.

"Saat kita menyatakan mau, memang harus siap energi, waktu dan siap pusing. Saya benar-benar berharap karena ingin terus bekerja di bidang film, berharap bisa membawa perubahan sedikit untuk film. Jadi dua tahun ini menghabiskan waktu di film," ujar Olga Lydia, di gedung Sampoerna Strategic, Jakarta Selatan, Senin (17/10/2016).

Perbaikan dalam unsur penjurian FFI 2016 | PT. Kontak Perkasa Futures Cabang Bali

PT. Kontak Perkasa Futures Cabang Bali

Diberlakukannya penggabungan dewan juri yang dipakai FFI 2016, membuat Lulu dan kawan-kawan jadi harus meluangkan waktu menonton berbagai film di kategori film bioskop sebelum memberikan penilaian.

Menurut agenda FFI 2016 yang dibagikan kepada awak media, proses penjurian untuk menentukan pemenang dari 21 kategori berlangsung pada 17-30 Oktober. Pun demikian, Lulu mafhum bahwa memaksakan kondisi ideal tersebut pada penyelenggaraan tahun ini bukan perkara sederhana.

Pasalnya Pusat Pengembangan Perfilman yang ditugaskan Kemdikbud mengurusi FFI baru terbentuk setahun lalu. "Semoga saja format yang sekarang ini tidak mengalami perombakan dari awal lagi, tapi dilakukan penyempurnaan," pungkas Lulu.


"Sekarang kita terima saja mekanisme yang ada untuk menjadi evaluasi pada penyelenggaraan mendatang. Harapan saya sama dengan Lukman, semoga Kemdikbud menganggap FFI ini sebagai sebuah institusi alih-alih event. Jadi ada semacam badan kepanitiaan yang bekerja setahun penuh," ujar Hikmat yang terlibat sebagai salah satu juri FFI 2016.

Harapan yang sama juga disampaikan Lulu Ratna, salah satu juri di kategori film nonbioskop. "Semoga ke depan kami para juri diberi waktu lebih panjang untuk menilai film. Soalnya kan kami menonton lebih banyak film," ungkap Lulu dari Organisasi Boemboe yang juga pernah bekerja dalam beberapa festival film.

Menurut hemat Lulu, kurun pendaftaran film nonbioskop juga semestinya diperpanjang. "Kalau hanya diberi waktu sebulan itu mepet banget. Idealnya jika merujuk festival lain di luar negeri, minimal disediakan waktu tiga bulan."

Kritik, bahkan kontroversi, terkait metode penjurian bukan hanya terjadi pada FFI, acara sekelas Academy Awards alias Piala Oscar juga mengalaminya. Pada penyelenggaraannya dua tahun terakhir misalnya. Panitia dianggap rasis karena melulu memilih aktor kulit putih sebagai nomine dan pemenang akibatnya muncul istilah "Oscar so white".

Academy of Motion Picture Arts and Sciences (AMPAS) selaku penyelenggara tanggap bereaksi. Mereka menjanjikan perubahan aturan penjurian untuk penyelenggaraan Piala Oscar berikutnya. Salah satu langkah strategis yang dilakukan adalah menambah kuota untuk nomine kategori film terbaik, dari semula hanya 8 menjadi 10.

Bagaimana dengan Panitia FFI? Kritikus film Hikmat Darmawan yang menjabat sebagai Ketua Komite Film periode 2015-2018 di Dewan Kesenian Jakarta juga berharap demikian.

Lukman Sardi yang menjabat Ketua Penyelenggara FFI 2016 mengatakan, "Syarat utama masuk penilaian di kategori film bioskop jika telah terdaftar dan lulus di Lembaga Sensor Film (LSF)."

Selain itu, film tak harus melulu telah tayang terlebih dahulu di jaringan bioskop. Bisa juga karena telah ditayangkan pada berbagai festival film dalam dan luar negeri. Karenanya film seperti Headshot, Salawaku, Istirahatlah Kata-Kata, dan Ibu Maafkan Aku masuk nomine dalam berbagai kategori di FFI 2016.

Kelebihan lain dengan masuknya keempat film itu sebagai nomine bisa dimanfaatkan untuk ajang promosi. Minat masyarakat untuk melangkah ke bioskop jika pada saatnya nanti film tersebut ditayangkan bioskop bisa terpupuk sejak awal. Siti dan A Copy of My Mind adalah contoh pada FFI 2015.

Tentu saja tetap ada risiko yang harus ditanggung dari penggabungan tersebut. Selain menambah beban tugas dari juri, kemungkinan lain adalah tidak tercapainya penilaian estetika terhadap sebuah film. Pasalnya semua jenis dan kategori film punya estetikanya masing-masing.

Selain itu, latar belakang para juri yang beragam dikhawatirkan tidak berangkat pada standar yang sama dalam menilai kategori spesifik, misalnya seperti pengarah artistik atau penata musik.

Hal lain yang masih tetap mengundang tanya adalah mengapa panitia masih kukuh memasukkan film-film yang belum tayang di jaringan bioskop nasional sebagai nomine dalam kategori film bioskop.

"Mungkin sistem ini belum sempurna, tapi yang pasti tidak bisa dipengaruhi oleh siapa pun karena jurinya banyak," katanya.

Pembaruan lain adalah dilibatkannya seluruh juri tadi sejak tahap pertama untuk ikut memberikan suara pada kategori nonbioskop yang terdiri dari film pendek, animasi, dokumenter pendek, dan dokumenter panjang.

Praktik tersebut bisa jadi merupakan angin segar bagi komunitas film pendek yang selama ini kerap diperlakukan diskriminatif. Sebelumnya ada pemisahan antara para juri kategori bioskop yang jumlahnya ratusan dan nonbioskop yang tidak melebihi hitungan jari. Akibatnya terjadi kejomplangan.

Kritikus/pengamat, wartawan, akademisi/pengajar film, budayawan, bintang film yang pernah mendapat Piala Citra atau minimal pernah bermain dalam lima film sebagai pemeran utama, hingga pemegang FFI Lifetime Member juga terangkut jadi juri.

Para pemilik FFI Lifetime Member adalah para nomine dan juara dalam penyelenggaraan FFI dua tahun terakhir. Mereka telah diperkenalkan sejak FFI 2015.

Saat menggelar acara pertemuan dengan sejumlah juri tersebut di GIA Restaurant & Lounge, Jakarta Pusat (17/10), Olga mengaku bahwa saat ini hal tersebut yang paling memungkinkan mereka terapkan untuk menghindari adanya praktik main mata atau kecurangan.

Pembaruan tersebut antara lain dengan menambah juri. Jika tahun lalu tercatat hanya sekitar 100 orang juri, pada penyelenggaraan FFI ke-36 mendatang yang berlangsung di Teater Besar Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, (6/11), angkanya melonjak menjadi hampir 200 orang.

Dewan juri tersebut terdiri dari para pekerja asosiasi profesi dalam bidang perfilman, yaitu Asosiasi Produser Indonesia (Aprofi), Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI), Asosiasi Perusahaan Film Indonesia (APFI), Asosiasi Casting Indonesia (ACI), Indonesian Film Directors Club (IFDC), Indonesian Motion Picture Audio Association (IMPACT), Rumah Aktor Indonesia (RAI), Indonesian Film Editors (INAFEd), Sinematografer Indonesia (SI), Indonesian Production Designers (IPD), dan Penulis Indonesia untuk Layar Lebar (PILAR).

Jajaran nomine dalam Festival Film Indonesia 2016 telah diumumkan, Jumat (14/10). Sejumlah komentar, sumbang saran, dan protes seperti biasa kembali mengemuka. Terutama di bidang penjurian. Olga Lydia sebagai Ketua Bidang Penjurian mengaku bahwa panitia telah berusaha melakukan sejumlah perbaikan.

Hal tersebut dilakukan untuk semakin meningkatkan mutu dan objektivitas penjurian sehingga hasilnya bisa lebih dipertanggungjawabkan, syukur-syukur kemudian mampu mereduksi sejumlah cibiran yang selalu mengarah ke bidang penjurian.

Artis Di Pilkada, Lukman Sardi Tak Mau Terjun Ke Politik | PT. Kontak Perkasa Futures Cabang Bali


PT. Kontak Perkasa Futures Cabang Bali


Keputusan tersebut, menurutnya, tentu berada di tangan orang yang bersangkutan, dan ia berharap keinginan tersebut memang ada di diri orang itu, bukan hanya sekedar iseng mencoba.

"Kita kan negara bebas, kalau memang artis mau masuk politik atau apa, itu hak mereka selama itu memang keinginan mereka sendiri dan menjalankannya karena passion, bukan sekedar iseng," kata Lukman.

"Jadi berkarya saja di film dan bicaranya lewat film saja," ujarnya.

Lukman menilai wajar saat ini ini tokoh publik menjadi tim sukses, karena mungkin ada hal yang tidak terjangkau oleh politikus, tetapi dapat dilakukan oleh selebriti.

Kalau aku enggak mau," kata Lukman kepada wartawan di Jakarta, Senin (17/10/2016).

Ia mengaku sudah sejak dulu menyatakan dirinya tidak berada di wilayah tersebut, dan ingin berkarya melalui dunia film.

 Aktor Lukman Sardi mengaku tidak mau turut terjun ke dunia politik, seperti beberapa rekan seprofesinya yang menjadi juru bicara tim sukses calon gubernur DKI Jakarta.




0 Response to "Pengorbanan Olga Lydia Demi Festival Film Indonesia"